Sabtu, 24 Oktober 2015

Asap

Entah sudah berapa lama kami tak melihat matahari.
Yang jelas sudah lama, bahkan sampai kami lupa seperti apa cahaya matahari
Entah sudah berapa lama kami tak pernah melihat langit biru.
Yang jelas sudah sangat lama, bahkan kami ragu masihkah langit berwarna biru?

Sebab, kemanapun kami memandang hanya terlihat kegelapan
Gelap yang menyelimuti tak lagi menentramkan sebagaimana malam
Gelap yang kami rasakan adalah kepedihan mata dan keperihan hati.
Asap telah menyelimuti negeri ini, begitulah yang tersiar di surat kabar dan televisi
Tapi, kami tak pernah percaya pada surat kabar dan televisi.

Entah,apakah kami masih harus percaya pada jam dinding
Sebab, kemanapun jarum melangkah tak pernah ada perubahan--tetap saja gelap.
Persis seperti pemerintahan yang hanya bual janji tapi tak pernah ada perubahan.

Mereka bilang ini bencana.
Kenyataannya ini adalah rencana.

Seperti pepatah:
Tak ada asap kalau tak ada api
Tak ada api kalau tak ada yang membakar
Tak ada yang membakar kalau tak ada oknum
Tak ada oknum kalau masih ada hukum

Asap bukan hanya menyembunyikan tanah kami
Tapi juga menyembunyikan keborokan penguasa dan pengusaha
Asap bukan hanya menyelimuti tanah kami
Tapi juga menyelimuti para penegak hukum yang tertidur pulas
Asap bukan hanya menumbuhkan solidaritas diantara sesama
Tapi juga menumbuhkan sawit-sawit sesudahnya

Mereka bukan hanya membakar hutan-hutan
Tapi mereka juga menyulut kemarahan

Sebelum kami benar-benar mati karena asap
Semoga Tuhan masih menyisakan ampunan kepada kita semua

Biarkan doa-doa menembus langit menyingkirkan asap meski terbatuk-batuk.

Kamis, 15 Oktober 2015

Untukmu Yang Berbahagia

Untuk sahabat yang tak pernah tamat

Pada jejak-jejak langkah yang basah
Pada jejak-jejak waktu yang bisu
Satu per satu kenangan telah tumpah ruah
Terikat dalam bingkai masa lalu

Pada setiap denting waktu yang berlalu
Pada setiap detik yang mencekik
Selalu ada asa yang tersisa
Selalu ada harap yang lenyap

Mari sejenak tundukan kepala
Atas semua karunia usia

Penyesalan tak harus memupus harapan
Selalu ada penyesalan yang mengiringi langkah sang waktu
Namun, bukan berarti harapan harus terkubur dengan sesal masa lalu

Usia adalah karunia
Begitulah kata bijak bestari
Tua adalah pasti namun dewasa adalah pilihan
Begitu pula kata bijak bestari

Teruntuk dirimu yang akan membuka lembar baru
Semoga lembaran itu bercerita tentang kebahagiaan
Teruntuk dirimu yang sedang menatap harapan dicermin kehidupan
Semoga selalu ada senyum indah yang menatapmu dari cermin

Lembaran lama jangan pernah terlupakan
Sebab disana kita belajar kearifan dari guru kehidupan
Cermin lama usah dibuang
Sebab disana kita belajar keteladanan dari cermin diri yang telah usang

Kata-kata memang bukan kado terindah
Sebab dia pernah berdusta
Tapi puisi selalu jujur
Tentang apa kata hati

Sebait harapan akan kebaikan
Di usiamu yang bertambah dewasa
Seperti puisi yang tak pernah mati
Semoga kebahagiaanmu pun demikian

Selamat mengulang tahun
Selamat menyulam harapan

Bogor, 14 Oktober 2015

Minggu, 11 Oktober 2015

Tidak Lagi Cemburu

Aku cemburu...
Aku cemburu pada siapa saja yang selalu berada didekatmu.
Aku cemburu pada semua orang yang mampu membuatmu bahagia.
Aku cemburu pada mereka yang kau jadikan tempat berkeluh kesah.

Aku cemburu...
Aku cemburu Pada angin yang membelai mesra pipimu.
Aku cemburu pada air yang membelai mesra seluruh tubuhmu.
Aku cemburu pada mentari yang menatap genit padamu di pagi hari.
Aku cemburu pada rembulan yang menyelamatkanmu dari kegelapan malam.

Aku cemburu...
Aku cemburu pada pakaian yang bisa melindungi tubuhmu.
Aku cemburu pada sandal yang melindungi kakimu dari goresan batu-batu.
Aku cemburu pada kacamata yang selalu kau tatap setiap saat.

Aku cemburu...
Tapi aku kan tetap menyangi dan mencintaimu.

Aku ingin menjadi orang yang paling dekat dengan hatimu.
Aku ingin menjadi orang yang akan selalu membahagiakan hatimu.
Aku ingin menjadi tempat hatimu berkeluh kesah.

Aku tidak hanya ingin membelai pipimu tapi juga hatimu.
Aku tidak hanya ingin menikmati tubuhmu tapi juga hatimu.
Aku tidak ingin sekedar menatap wajahmu tapi juga hatimu.
Aku tidak ingin sekedar menyelamatkanmu di kegelapan tapi juga menghilangkan sepi dihatimu.

Aku tidak hanya ingin melindungimu tapi juga hatimu.

Aku ingin menjadi orang yang ada di mata dan hatimu.

Aku tidak akan cemburu (lagi) pada siapapun, pada apapun.
Sebab aku mencintaimu seutuhnya.

Bogor, 11 Oktober 2015

Kenangan Yang Tertinggal

Kuningan-Bogor tak terlalu jauh
Walau bus sering tersengal menapaki jalan aspal
Sepanjang perjalanan aku menuliskan namamu
Pada kaca jendela yang ber-embun
Walau terkadang embun juga yang menghapusnya
Aku tidak peduli

Aku menyaksikan pohon dan rumah yang dilewati bus
Seolah berlari tak mau tertinggal
Ah, itu seperti kenangan kita yang tak mau kutinggal

Kuningan-Bogor ternyata cukup jauh
Untuk memisahkan cinta kita

Bogor, 10 Oktober 2015

Rabu, 07 Oktober 2015

Pengakuan

Di atas permadani kecil di sudut sepi
Kubentangkan hamparan dosa-dosa
Dihadapan pengampunanMu yang tak bertepi
Kuhapuskan ke-akuan yang tergantikan ke-AkuanMu

Bulir-bulir embun yang berlinang di sudut sunyi
Menjadi saksi akan sebuah pengakuan dan kepasrahan

Pengakuan akan ke-Maha Kuasaan atas ketidakberdayaan
Kepasrahan akan kehendakMu diatas harapan

Kuresapi dan kusesapi dalam-dalam panggilan cintaMu
Adakah diriku yang hina ini menjadi mulia dalam pandanganMu?
Adakah NamaMu dalam hati insan yang penuh khilaf ini?

Aku ingin kembali meniti jalan cintaMu
Mencari pintu pengampunanMu yang masih terbuka
Untuk jiwa yang mati
Untuk bibir yang kering dari menyebut namaMu

Laa ilaha ilallah,

Bogor, 07 Oktober 2015

Hanya Kamu

Penaku telah menari menuliskan sajak
Semuanya tentang kamu

Kuasku telah kugoreskan diatas kanvas
Semuanya hanya lukisan wajahmu

Pikiranku telah tersandra
Hatiku telah terikat
Lagi-lagi pikiran dan hatiku juga hanya tentangmu
Betapa mengerikannya orang yang sedang jatuh cinta

Bogor,07 Oktober 2015

Kutulis Namamu

Angin yang berhembus 'tlah menjatuhkan si daun kering yang malang
Aku menjadi saksi bagaimana ia pasrahkan dirinya pada angin

Ingin kutulis kebahagiaan pada sepucuk daun kering
Inhin kutulis keindahan pada sepucuk daun yang baru saja terhempas angin

Semuanya terlalu panjang
Terlalu banyak kebahagiaan yang ingin ku ceritakan
Terlalu banyak keindahan yang ingin ku kisahkan

Sedang sepucuk daun tak cukup untuk menuliskan itu
Maka, aku memutuskan untuk menuliskan namamu
Sebab, namamu telah mewakili kebahagiaan dan keindahan hidupku

Kan kubiarkan daun kering
Mengendap diladang hatiku
Menumbuh suburkan cinta yang baru saja tumbuh

Bogor, 07 Oktober 2015

Jarak

Seberapa jauh kita dipisahkan?
Seberapa lama kita tak bertemu?

Berapapun jarak membentang
Berapa lama pun waktu merentang

Sesungguhnya, jarak dan waktu hanya ilusi
Sebab cinta mampu menghilangkannya.

Bogor, 07 Oktober 2015

Selasa, 06 Oktober 2015

Arti Kesetiaan

Cinta telah mengajarkanku tuk setia pada satu hati.
Cinta juga telah mengikrarkan kesetiaan diantara kita.

Kini aku meragukan arti kesetiaan yang kau berikan.

Apa arti setiamu?
Jika kau sering membuatku cemburu.
Apa arti setiamu?
Jika kau sering membuatku berderai air mata di keheningan malam?
Apa arti setiamu?
Jika kau sering membuatku mengutuk cinta yang tak bahagia.
Apa arti setiamu?
Jika membuatku ragu tuk setia padamu.

Apakah seperti itu yang dinamakan setia?
Tapi mengapa mereka selalu bahagia di atas kesetiaan?

Diriku selalu bermandikan air mata atas nama kesetiaan
Diriku selalu berkubang dalam duka atas nama kesetiaan
Diriku selalu terpenjara dalam penyesalan atas nama kesetiaan
Diriku selalu tersayat kekecewaan atas nama kesetiaan
Diriku selalu memendam amarah atas nama kesetiaan

Lalu, Apa arti kesetiaan itu?
Apakah membiarkan hati terluka adalah kesetiaan?
Apakah membiarkan dada ini terkoyak adalah kesetiaan?
Apakah pasrah terhadap penyanderaan rasa juga adalah kesetiaan?

Lalu apa arti kesetiaan?
Sebab, aku ingin tetap setia.

Bogor, 6 Oktober 2015

Kesempurnaan Cinta

Aku mencintaimu seutuhnya
Aku mencintaimu apa adanya dirimu
Aku mencintaimu bukan karena sesuatu
Klise? Gombal? Biarlah.
Sebab cinta telah mengajarkan itu.

Aku tahu kau tidak sempurna
Karena diriku pun tak sempurna
Aku tahu kamu memiliki kekurangan
Karena diriku pun memiliki kekurangan
Cinta telah membuat semuanya indah
Dirimu adalah kesempurnaan dibalik ketidaksempurnaanku
Dirimu adalah kelebihan dibalik kekuranganku
Sebab cinta telah menyempurnakan semuanya

Berjalanlah disampingku!
Itu adalah kesempurnaan yang nyata
Genggamlah tanganku!
Itu adalah kebahagiaan terbesar
Tersenyumlah!
Maka, aku akan menemukan kenyataan bahwa bidadari itu ada

Tetaplah bersamaku!
Sebab, langkah kita tak selalu mulus
Eratkan peganganmu!
Sebab, badai dan gelombang senantiasa menghadang

Yakinlah!
Berdua, kita akan temukan makna cinta yang sesungguhnya.

Bogor, 06 Oktober 2015

Sebab Cinta

Berhentilah tuk saling menyakiti!
Sebab cinta tidak untuk itu.

Berhentilah tuk saling mengkhianati!
Sebab cinta tidak untuk itu.

Jangan pernah berpisah!
Sebab cinta selalu bersama.

Bogor, 05 Oktober 2015

Harapan Yang Menyakitkan

Tidak adakah lagi kesempatan bagiku?
Tidak adakah lagi cela dihatimu?
Hingga aku tak lagi terlihat dalam pandanganmu
Semua yang telah kita bangun luluh lantak dalam sekejap
Habis sudah disapu badai ego

Bukan aku tak ingin lagi melihatmu tersenyum
Bukan aku tak ingin lagi melihatmu bahagia

Senyummu yang kulihat kini tak lagi menentramkan
Bahagiamu kini adalah dukaku; lukaku

Jika bukan aku yang membuatmu tersenyum
Jika bukan aku yang membuatmu bahagia

Lalu untuk apa harapan masih ku simpan dalam hati?
Sedang luka bersemayam dalam jiwa
Perlahan menyayat hati

Sebab aku masih berharap senyum dan bahagiamu
Karena kehadiranku
Bukan dia yang telah merenggut bahagiaku

Bogor, 06 Oktober 2015

Sabtu, 03 Oktober 2015

Kutitipkan Rindu

Telah kutitipkan rindu
Pada riuh gerimis
Dan sepotong sajak hujan

Bogor, 03 Oktober 2015

Jumat, 02 Oktober 2015

Lupa

Senja menyapa
Lembayung telah meredup
Sang Surya entah dimana

Hujan telah mereda
Menyisakan jalanan yang basah

Tapi, kau tak juga kembali

Ternyata aku sedang melamun
Hingga aku lupa, kau bukan milikku lagi
Aku tak mungkin menunggu lagi di daun pintu
Sebab kau tak kan kembali

Bogor, 2 Oktober 2015

Hatiku Seumpama Kapas

Aku terlepas dari kumpulanku
Aku menjelma kapas yang malang

Angin telah menerbangkanku
Membiarkanku bercumbu dengan awan
Melayang-layang dalam genggaman angin
Mencari tempat berlabuh yang indah
Burung-burung kutilang melambai
Menggodaku 'tuk singgah disarangnya

Aku menyatu dengan gumpalan awan
Menyaksikan keindahan tiada tara
Putihku masih tetap suci
Aku ingin mencari tempat berlabuh

Angin menggenggamku erat
Mengantarkanku jatuh diwajahmu

Jangan terburu disibakkan!
Biarkan aku menikmati wajahmu!
Membelai wajahmu
Adalah ketenangan yang aku rindukan

Bogor, 2 Oktober 2015

Luka

Luka lama kambuh kembali
Menjalar disetiap hati
Semakin parah

Janji-janji dilangkah ini
Hanya usap
Hanya sentuh telinga, lalu pergi

Bahkan malam yang biasa singgah
Enggan menyapa pada sang bulan

Mimpi-mimpi tak cantik lagi
Sejengkal melangkah bertambah nyeri

Luka...
Kau paksa kami
Untuk menahan luka ini

Sedang kau sendiri telah lupa

Akan gaduhnya jerit
Akan busuknya derita
Akan hitamnya tangis
Akan kentalnya nanah

Di kaki kami yang labil melangkah.


Kuningan, 20 Januari 2013

Kapan Giliranku?

Kala senyum tak lagi menarik hati.
Kala ketulusan dianggap sebuah kepalsuan.
Kala kejujuran tak ada lagi harga nya.
Seperti harga diri yang semakin murah.

Saat itu kah giliran ku?
Atau kah itu giliran mu?

Entah lah.
Padahal ia sangat dekat dengan kita.
Namun kita enggan berdekatan dengannya.

Rokib atid tak bosan mendampingi.
Menuliskan tingkah cucu adam.
Di balik bayang gelap sang izrail.

Lallu kapan izrail kan menyapa?
Entahlah,
Cukup itu rahasia rabb ku.

Mugkin ia hadir saat kita berlumur dosa.
Mungkin ia hadir saat kita bermandikan kenistaan.
Mungkin ia hadir saat kita lupa padaNya.

Tapi, itu bukan harapanku.
Juga bukan harapanmu.

Yang jelas kita menanti giliran itu.

Bogor, 25 Mei 2015

Sajak Orang-orangan

Izinkan aku bersajak! Tuan.
Boleh tutup telinga jika terdengar tak enak. Apalagi jika membuat sesak.

Lihatlah! Tuan.

Orang goblok dikasih golok, 
ya sudah pasti kerjaan nya ngegorok.
Orang sakit dikasih cerulit, 
ya sudah semua yang dianggap tidak sejalan dengan pemikirannya langsung sabit.
Orang waras ga punya beras.
Ujung-ujungnya jadi pemeras.

Orang pintar hanya bisa berkelakar.
Orang bodoh hanya bisa pasrah.
Orang-orangan hanya bisa tepuk tangan.
Lalu Aku bertanya. 

Siapa si goblok?
Siapa si sakit?
Siapa si waras?
Siapa si pintar?
Siapa si bodoh?
Siapa Orang-orangan?
Izinkan aku tertawa! Tuan.
Hahaha.

Ada si goblok yang lagi sakit.
Tapi pura-pura waras.

Ada yang ngaku pintar.
Tapi nyatanya bodoh.

Haha...
Dasar Orang -orangan.

Bogor, 29 Maret 2015

Ratapan Sang Pendosa

Menangis hatiku,
Menjerit jiwaku,
Terguncang batinku,
Terbaring ragaku,

Tubuh yang hina ini akan menjelma lautan air mata,
Tubuh yang nista ini akan menjelma kesedihan,
Tubuh yang hina ini akan menjelma penyesalan.

Kuningan, 16 Agustus 2012

Pesan Yang Belum Tersampaikan

Ranting-ranting pohon mengering
Daun-daun mahoni perlahan berguguran
Sawah dan ladang sudah gersang; kerontang

Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran
Daun-daun kembali menghijau di ujung ranting
Sawah ladang mulai bergeliat;berlimpah air

Musim sudah berganti
Entah kenapa hati ini masih belum bisa tenang

Bogor, 02 Oktober 2015

Sepi Yang Sama

Sepi telah menjadi teman setia
Yang tak pernah absen menemaniku
Sejak beberapa waktu yang lalu
Setelah bahagiaku terenggut
Bersama langkah kakimu
Yang memilih menjauh
Meninggalkanku yang berbalut luka

Dimana kau kini?
Tak adakah rasa dihatimu yang tersisa?
Disini aku masih saja berteman duka dan nestapa

Hati yang rapuh ini perlahan runtuh
Tak kuat lagi menopang duka

Tak kutemukan lagi indah cinta yang disenandungkan pujangga
Tak kutemukan lagi ketenangan
Pada sebait puisi
Tak kutemukan lagi risalah
Pada bulir-bulir hujan yang menangisi jalan
Tak kutemukan lagi pelangi
Pada dinding hatiku
Tak kutemukan lagi senyummu
Dalam hidupku

Kelabu telah menjadi karib setia
Menemani hari-hariku yang sepi

Aku telah menjadi pecundang yang kalah
Bahkan sebelum berperang
Aku telah menyerah pada cintamu
Bahkan saat sebelum aku merasakan bahagia yang sesungguhnya

Aku masih disini
Berteman sepi yang sama

Bogor, 02 Oktober 2015

Nasihat Surgawi (Ibu)

Dalam Senyum kau sembunyikan letih
Derita siang dan malam menimpa
Tak sedetik pun menghentikan langkahmu
Untuk bisa Memberi harapan baru bagiku

Sejuntai Cacian selalu menghampiri
secerah hinaan tak perduli bagimu
Selalu kau teruskan langkah untuk masa depanku

Bukan setumpuk emas yang kau harapkan di masa senjamu
Bukan gulungan uang yang kau minta di hari-hari letihmu
Bukan juga sebatang perunggu yang kau minta di masa tuamu
Engkau tak meminta apapun
Tapi keinginan hatimu membahagiakan aku
Membuatku menyadari apa yang harus kubalas padamu

Dan yang selalu kau katakan padaku
Aku menyayangimu sekarang dan sampai nanti aku tak lagi bersamamu
aku menyayangimu anakku dengan ketulusan hatiku

Dan aku ingin mengatakan:
Aku akan tetap mencintaimu
Karena engkaulah surga yang dikaruniakan Tuhan untukku
Tak kan kusia-siakan waktuku dengan membuat air matamu terjatuh
Aku akan tetap rindu nasihatmu
Meski suatu saat nanti kau tak lagi disisiku
Namun, namamu selalu hidup diatas kasih sayang yang kau tanamkan padaku

Jakarta, 22 Desember 2013

Kata Tinggalah Kata

Banyak orang yang menyuarakan kerjasama dan gotong royong
Padahal hidup mereka egoistis dan individualistis

Banyak orang yang berpura- pura mrendahkan hati
Padahal sikap hidup mereka menonjolkan keakuan

Banyak orang yang berbicara tentang toleransi
Padahal prilaku mereka membesarkan perbedaan dan mengkerdilkan persamaan

Banyak orang yang berbicara tentang etika, moral, dan kebajikan
Padahal hidup mereka penuh dengan kemunafikan dan kepura- puraan

Banyak orang yang berbicara tentang kearifan dan keharmonisan
Padahal kebijakan mereka berpihak pada kelompok dan kepentingan sendiri

Banyak yang berbicara tentang keprihatinan dan kesederhanaan
Padahal hidup mereka bergelimang kemewahan dan kemegahan

Akhirnya, Kata-kata tinggallah kata-kata
Meski disuarakan lantang tetaplah ia kata-kata
Tanpa perbuatan, kata-kata hanyalah sampah

Jakarta, 16 Juni 2014

Musyawarah Kaum Pinggiran

Inilah cara kami memandang perbedaan
Tak perlu saling menjatuhkan
Cukup sampaikan dengan sedikit senyuman
Berkacak pinggang
Tak mesti saling serang

Inilah cara kami memandang permasalahan
Cukup duduk bersama
Saling bercengkrama
Tak ada cacian tak pula makian

Inilah musyawarah kami
Musyawarah kaum pinggiran

Jakarta, 12 Agustus 2014

Konyol

Hidup konyol macam apa ini?
Dirumah kecil itu pasangan suami istri mendambakan kehadiran bayi
Sementara, di kali- kali yang kotor banyak pasangan gelap yang membuang bayi nya

Hidup konyol macam apa ini?
Di pinggiran kota bayi- bayi kekurangan gizi karena orang tuanya tak mampu beli susu
Sementara, di tengah kota yang angkuh banyak bayi - bayi tak sempat menikmmati ASI dan hanya diberi susu formula

Hidup konyol macam apa ini?
Dibalik bilik bambu seorang anak merengek minta sepatu baru karena sobek
Sementara, dibalik rumah dengan pagar yang tinggi seorang anak bebas memilih sepatu demi gengsi

Hidup konyol macam apa ini?
Di pinggiran desa anak- anak sekolah sedih karena tak ada guru
Sementara, di kota besar anak- anak sekolah tawuran karena guru nya sibuk menyiapkan materi

Hidup konyol macam apa ini?
Di taman gelap orang menjual badan demi mengganjal perut nya yang keroncongan
Sementara, di hotel mewah istri para guru menjual badan demi mengganjal pantat nya dengan jok sedan

Hidup konyol macam apa ini?

Jakarta, 11 Juli 2014

Siapa Dia?

Siapa dia?
Apakah dia sodaraku?
Aku mengenal baju nya yang lusuh
Aku mengenal nyanyian nya yang sumbang

Siapa dia?
Apakah dia temanku
Aku mengenal bau keringat nya
Aku mengenal bau nafasnya yang memburu

Siapa dia?
Apakah dia tetanggaku?
Aku mengenal tarian itu
Aku mengenal nyanyian itu

Kenapa dia menari-nari dibawah lampu itu?
Kenapa dia bersenandung sendiri di trotoar itu?
Apakah dia orang gila?
Atau kah saya yang gila
Yang membiarkan dia

Kenapa dia memakai pakaian compang- camping?
Kenapa dia tak memakai celana?
Apakah dia tidak malu?
Ataukah saya yang harus malu
Menyaksikan sodara sendiri di tertawakan atas deritanya

Bogor, 5 September 2014

Gembala Tikus

Seirang gembala menyusuri kota
Telanjang kaki telanjang dada
Melangkah perlahan dijalan aspal

Hey, jalan aspal bukan pematang
Lihatlah..!!!
Kaki nya terluka, tersandung batu

Tak ada pohon tempat berteduh
Hanya panas yang semakin terik

Geembala terus melangkah
Menahan panas berbalut debu

Dilihatnya mobil
Lalu bertanya
"Binatang apa itu?"

Dilihatnya kereta
"Wah, ularnya besar sekali"
Ujar si gembala

Terdengar gemuruh di udara
Hey..burung nya besar sekali

Dilihatnya seorang koruptor
Wah, Tikus nya besar sekali
Kalau begitu aku akan mengembala tikus

Bogor, 8 September 2014

Kebebasan

Kebebasan berbicara menimbulkan sengketa
Ada kisah
Ada perintah
Uang sebagai pemisah

Bogor, 11 September 2014

Bahagia Bersama


Aku suka cacian juga celaan
Karena Itu bagian dari metamorfosa
Asalkan kau bahagia

Tapi, aku lebih suka nasihat
Karena itu bagai air yang menyegarkan
Aku suka rangkulan tanganmu, karena itu bagai bunga
Yang menjernihkan pandangan
Maka kita akan bahagia bersama
Seiring mekarnya bunga yang kita sirami

Bogor, 21 November 2014

Cinta Dibawah Cahaya

Kala matahari tenggelam
Ia tinggalkan cahayanya
Menelisik ke bilik-bilik hati
Menerangi hati yang gelisah

Kulihat di kejauhan
Terang bulan di padang bintang
Cahaya fana nya menyelinap dibalik daun cemara
Mengintip siapa saja yang ada dibawahnya

Kulihat dua insan sedang memadu kasih
Betapa bahagianya mereka
Menghitung bintang merangkai rasi
Melukiskan harapan di kanvas langit

Bogor, 29 November 2014

Pembual

Sang pembual bercerita tentang eloknya purnama
Ia serupa matahari
Datang dari balik mega
Ia curi hatiku dengan sejuta pesona.
Lalu ia pangkas ranting jiwaku begitu saja
Aku tunduk,
Menyerah dihadapannya

Bogor, 27 September 2015

Hilang

Satu- satu mereka tumbang
Di tebas angin keserakahan
Dua- dua mereka hilang
Ditelan lumpur kekuasaan

Ah,
Ini hanya sebuah elegi
Tentang dia yang kehilangan mimpi
Atau harga diri
Tentang dia yang tak percaya janji
Atau karena sering diingkari
Tentang dia yang tak pernah simpati
Atau memang tak punya hati

Bogor, 21 Desember 2014

Liar

Aku seperti binatang bertubuh belang
Atau seperti binatang berbelalang
Bisa seperti binatang berkubang
Binatang apa asyik berkubang?
kadang ku suka mengerang
Kadang juga ku meradang
Aku bak binatang jalang
Kadang ku menerjang
Juga ku menyerang
Berwajah garang
Namun periang
Aku terbuang
Menghilang
Ah, malang
Memang
Malang
;Yang
Sayang
Ah, sayang
Seribu sayang
Hilang; terbang
Si hidung belang
Si mata keranjang
Selalu saja menang
Semua  karena uang
Tak tahu kasih sayang
Jauh dari kasih sayang
Tak ada yang penyayang
Hanya nafsu merangsang
Pikirannya selalu melayang
Merindukan keadaan ranjang
memang dasar si hidung belang
Selalu  saja ingin  jadi pemenang
Dengan berdalih perasaan senang

Bogor, 27 Desember 2014

Aib

Dilangit mana harus kusimpan dosa?
Di tanah mana harus ku kubur aib?
Ke ujung dunia mana harus ku berlari?
Di kegelapan mana harus kusembunyikan malu?

Sementara Dia begitu dekat.
Sementara Dia selalu melihat.

Adakah darah yang tak bau anyir?
Tak ada. Sungguh tak ada.

Kalaupun ada itulah darahku yang bau busuk.
Atau mungkin kebusukan pun masih lebih baik dariku.

Mungkin...

Bogor, 20 Januari 2015

Mantra Pembangkit Jiwa

Ketika bambu tak lagi runcing.
Maka kan ku buat seruling.
Kan ku sayat tubuhmu dengan suara nya yang melengking.

Ketika darah tak bisa lagi tertumpah.
Maka, kan kubiarkan tinta ini tumpah.
Kan kutulis sajak-sajak gundah.
'Tuk buat hatimu resah.

Yang lalu biarlah menjadi sejarah.
Sejarah tentang penjajah.
Penjajah yang menjarah.
Penjarah yang menjajah.
Ah,

Aku bukan penyair.
Yang menulis sajak-sajak cinta.

Aku adalah darah yang kemarin tumpah.
Aku adalah tinta yang hari ini tumpah.
Dan esok, aku adalah sejarah.

Aku adalah perjuangan.
Perjuangan yang belum usai.
Untuk sebuah perubahan.

Aku adalah mantra.
Pembangkit jiwa.

Jiwa yang telah mati.

Bogor, 23 Maret 2015

Kesaksian

Dalam dekap malam.
Aku menatap wajahnya yang muram.
Wajah yang lelah menatap masa depan yang suram.

Diatas tanah yang basah.
Aku merasakan hatinya yang gelisah.
Hati yang lelah mengikuti hidup yang tak terarah.

Dibawah terik yang membakar.
Aku menyaksikan tatapannya yang nanar.
Tatapan yang lelah karena harus berpura-pura tegar.

Aku pernah menyusuri lorong lorong sempit dalam terminal.
Disana aku menemukan harapan mereka yang tetinggal.

Aku pernah berjalan didekat tumpukan sampah.
Disana kutemukan dia sedang gelisah.

Aku pernah berjalan disudut-sudut pasar.
Disana kutemukan dia sedang gusar.

Adakah mataku ini hanya untuk menyaksikan itu semua?
Apakah hati ini telah membisu untuk sekedar menyapa mereka?

Bogor, 14 Mei 2015

Ramadhan

Malam ini,
Syetan-syetan mulai rapi-rapi untuk mengungsi, Minder.
Malaikat sudah mulai sibuk menyiapkan lembaran-lembaran catatan amal terbaik.
Pintu-pintu langit mulai terbuka,
Harum syurga mulai tercium,

Bedug-bedug mulai di tabuh,
Sajadah panjang mulai di gelar,
Para pedagang mulai berjajar,
Dari penjual korma sampai mukena,

Alquran mulai dibersihkan dari debu,
Kalam-kalam yang telah terlupa mulai dihafal lagi,
Jalan-jalan penuh baligho religi,
Menyambut penghulu bulan yang segera menjelang.

Marhaban yaa ramadhan...

Bogor, 16 Juni 2015

Takbir Cinta

Ketika cinta bertakbir,
Bibir ini senantiasa basah untuk memuji keagunganNya.
Kidung-kidung yang merdu senantiasa menggema memuliakan keagunganNya.

Ketika cinta bertakbir,
Tak ada nama lain yang selalu disebut selain namaNya.
Tak ada kerinduan selain kerinduan padaNya.

Ketika cinta bertakbir,
Rasa rindupun menjelma dalam doa,
Rasa harupun menjelma dalam air mata,

Ketika cinta bertakbir,
Malam yang gulita menjadi cahaya yang benderang,
Siang yang terik menjadi keteduhan dan ketenangan.

Ketika cinta bertakbir,
Tak ada yang indah selain menyebut namaNya,
Atas nama cinta yang agung sang pemilik cinta,

Bibir ini lirih kala menyebut namaMu,

Allahuakbar3x
Allahuakbar wa lillahilham.

Kuningan, 16 Juli 2015

Tuhan Yang Terlupakan

Diantara gemerisik rumput-rumput yang mengering,
Aku menyimak dengan seksama,
Mendengarkan bisik-bisik tentang keagungan Tuhan,
Namun, tak ada yang kudapatkan selain kehampaan.

Diantara bulir-bulir embun yang menetes jatuh.
Aku menyaksikan dengan kekhusyuan,
Melihat adakah goresan-goresan kebesaran Tuhan,
Namun, tak ada yang kudapatkan selain kebimbangan,

Diatas tanah yang basah,
Dibawah terik yang membakar,

Aku bertanya sekali lagi,
Tentang Tuhan,
Aku berkata sekali lagi,
Tuhan telah hilang
Aku bergumam lagi,
Tuhan telah lupa.

Atau,
Aku yang telah melupakan Tuhan.
Aku yang telah menghilangkan Tuhan dalam setiap langkah.

Bogor, 9 Agustus 2015

Kebenaran

Tak perlu kekayaan dan kekuasaan untuk mengatakan kebenaran.
Tak perlu pengetahuan dan gelar kesarjanaan untuk mengungkap kebenaran.

Kebenaran tak butuhkan itu semua.
Kebenaran hanya butuh nurani.

Kekayaan dan kekuasaan tanpa Nurani hanya akan menciptakan kanibal-kanibal.
Pengetahuan dan gelar kesarjanaan tanpa Nurani hanya akan menciptakan penjilat.

Kita adalah kebenaran.
Kebenaran tak memerlukan pembenaran.
Meski ia di kerangkeng, tetaplah ia kebenaran.
Meski ia dipancung, tetaplah ia kebenaran.
Meski dipenggal lehernya, tetaplah ia kebenaran.

Tak perlu raga untuk bersemayam kebenaran.
Tak usah kita mencari kebenaran.
Kita adalah kebenaran.
Yang sebenar-benarnya kebenaran.

Cirebon, 24 Agustus 2015

Dirimu Yang Satu

Andai engkau tahu,
Apa isi hatiku ini.
Apa yang kurasakan saat ini.
Jika kau bisa merasakan,
Balaslah rasa ini!
Ungkapkan kejujuran hatimu!

Andai engkau tahu,
Hanya dirimulah yang ada di hati.
Hanya namamu yang terukir dijiwa.
Hanya wajahmu dibayangku.

Dirimu yang satu.

Telah menebar cinta dihatiku.
Telah membagi rasa indah dihati.
Walau hanya aku yang merasai,

Cinta itu timbul.
Saat kulihat dirimu.

Dan rasa itu muncul.
Di lubuk hatiku, hanya dirimu dihatiku.

Dirimu yang satu...

Kuningan, 25 September 2012

Puing Kerinduan

Kubiarkan jiwa yang lemah
Kurelakan raga yang lelah
Tenggelam ditelaga jiwa
Hanyut dalam sungai air mata kesedihan
Merangkai rasa yang teruntai
Mencari remah-remah rasa yang hilang

Kubiarkan hati pasrah
Pada rindu yang kehilangan arah
Menuangkan risalah hati
Berpeluh menuntun makna
Tentang cinta yang hilang

'Kan ku korek selaksa rindu yang menyiksa
Dibalik kamar yang tersembunyi
Mendekap cinta berselimut rasa,asa
Membiarkan air mata menghangatkan jiwa

Berjuntai-juntai kata pengakuan tentang rindu
Pada sepotong sajak

Menyusuri puing-puing reruntuhan bangunan cinta
Menyusun kembali bangunan kebahagiaan
Meski tanpa tiang penyangga yang kokoh

Kan kutulis sepenggal puisi
Pada dinding-dinding hati yang rapuh
Walau itu menyayat nurani

Aku ingin tetap mencumbu cinta
Meski menyesakkan ruang hati
Aku ingin tetap mengumpulkan bulir-bulir rindu yang bertabur
Menyemainya di palung jiwa

Biarkan rasa ini mengalir dalam setiap aliran darah
Menyusuri jejak-jejak cinta di urat nadi

Biarkan kilau bulir kerinduan
Membasahi rapuhnya rasa

'Kan kutinggalkan sepi yang membayang
Hingga jingga menyapa

Kuningan, 16 Agustus 2012

Kamis, 01 Oktober 2015

Menerjemahkan Pelangi

Hujan yang menangisi jalanan sore itu
Meninggalkan jejak yang terlukis indah
Pada sebidang kanvas biru
Senyum simpul warna warni
Menghias biru yang bisu
Pelangi

Menerjemahkan pelangi
Berarti mengurai warna
Merah yang merekah
Biru yang merayu

Menjamah hatimu
Lebih rumit dari menerjemahkan pelangi
Mencari jejak cinta dihatimu
Lebih sulit daripada mencari jejak pelangi

Adakah dihatimu cinta yang merekah?
Adakah dihatimu rindu yang merayu?

Aku ingin menerjemahkan hatimu
Seperti menerjemahkan pelangi

Bogor, 1 Oktober 2015

Melukis Cinta

Dapatkah aku melukiskan cinta untukmu?
Pada hamparan langit biru
Pada bening air yang menggenang damai
Sementara awan-awan mengarak warna pada langit
Sementara ombak bergulung melukiskan gelombang

Bisakah aku mengguratkan warna?
Pada selembar kain perca
Pada kanvas yang menguning
Aku ingin tetap menggoreskan kuas
Melukis bibirmu yang menggoda
Menggores pipimu yang merona
Menggambarkan matamu pada selembar kanvas

Semua tentangmu selalu indah
Meski hanya sebuah lukisan
Bahkan meski sekedar bayang

Dapatkah aku memiliki cintamu?
Lebih dari sekedar lukisan
Lebih dari sekedar goresan kuas
Yang bisu

Aku ingin memilikimu
Seperti kupu-kupu menikmati bunga
Seperti malam yang memiliki rembulan

Dapatkah aku melukis mimpi bersamamu?
Menghapuskan lelahku di ujung resah
Melukiskan kebahagiaan yang indah

Kuningan, 18 Januari 2013

Rindu

Rinduku terpahat pada batu
Suaraku mengalir bersama air
Bertebaran bersama bunga-bunga keabadian
Dihempas angin yang ditiupkan dari surga

Aku patrikan diriku pada alam
Agar rinduku mencari tempatnya
Tembang-tembang lara yang kusenandungkan
Kerinduan kian berlaga dipucuk cemara
Angin semilir yang memadamkan bara
Membuatku pilu
Adakah rindu ini akan tersampaikan?

Aku tidak paham bagaimana laut dengan cintanya
Menghantamkan diri pada tebing yang terjal

Aku ingin membelah sepi
Mencari sedikit penawar rindu
Tatkala bulan bersemi dibalik pohon beringin

Kemana kan kupatrikan rindu?
Ketika air tak lagi bergemericik
Katika alam tak lagi mendamaikan
Sementara gelora kian membara pada sudut hati yang lain.

Kuningan, 21 Maret 2013